Jumat, 16 April 2010

Cerpen


KEMURNIAN HATI MURNI

Pukul 06.30 aku memulai rutinitas wajib, sekolah. Di bawah langit yang masih terlihat malas menyambut pagi dengan sinarnya, kulangkahkan kaki diatas tanah lembab yang membuat bagian bawah rok abu-abu panjangku basah terkena genangan air hujan yang turun deras semalam. Angin yang masuk lewat jendela angkot yang kutumpangi membuat kain seragamku tak mampu menghalangi angin yang dingin itu menyentuh kulitku.
Setibanya di sekolah, aku melihat setengah pintu gerbang telah tertutup. Aku langkahkan kaki secepat mungkin menerobos pintu gerbang yang terus bergerak semakin merapat. Pak satpam tersenyum melihatku mengelus dada karena lega bisa lolos dari hukuman yang akan diberikan kepada siswa yang terlambat.
Akupun semakin lega ketika melihat di kelasku belum ada guru. Aku teringat, ini adalah jam pelajaran Ibu Mae, wali kelas kami yang biasa datang terlambat karena alasan ibu rumah tangga yang sibuk mengurus ini itu.
Nampak kursi tempat Murni teman sebangkuku masih kosong. Rupanya dia tidak masuk sekolah lagi hari ini. Sudah tiga hari Murni absen karena sakit. Niatku bersama teman-teman yang lain untuk menjenguk Murni terpaksa batal karena jarak rumah Murni dari sekolah sangat jauh. Bahkan harus melewati sawah dan menyebrangi sungai yang terkadang jembatannya rusak atau ambruk karena tak kuat menahan beban. Tidak terbayang olehku, Murni yang bertubuh mungil harus menempuh jarak sejauh itu setiap harinya. Pulang pergi!

Hari ini aku tiba di sekolah lebih cepat dari kemarin. Di kelas, kulihat Murni duduk bersandar lesu dan seketika tersenyum melihatku datang.
"Ah, Murni...aku rindu akan lesung pipit dikedua pipimu itu", bisikku dalam hati.
Aku tersenyum lepas melihatnya kembali sekolah. Paling tidak, aku tidak akan kesulitan mengerjakan tugas fisika hari ini.
"Sudah sembuh, Murni ?"
"Alhamdulillah, hari ini aku merasa lebih baik"
Suaranya terdengar parau.
"Sakit apa sampai tiga hari tidak masuk sekolah?"
"Ah, hanya batuk biasa. Penyakit musiman! Kau pasti merindukanku , ya kan, Sekar?"
"Aku tidak begitu merindukanmu! GR sekali kau ini!"
Murni tertawa renyah kala itu.
Tentu aku sangat merindukanmu Murni. Aku rindu melihat wajah innocentmu yang selalu nampak pucat tapi kau tak pernah bosan untuk tersenyum. mata sayumu yang menyiratkan kepiluan tetapi membuatku merasakan sentuhan kedamaian yang luar bisa indah ketika melihatnya. Cantik sekali sahabatku ini. Gumamku dalam hati.

Satu minggu berlalu. Murni mulai terlihat lebih segar dari biasanya. Walaupu kadang napasnya masih sedikit terdengar sesak. Murni tak pernah lupa membawa obat. Kulihat da beberapa macam obat, berbentuk bualat, elips, besar, kecil, berwarna putih, biru, kuning. Banyak sekali! Aku sampai ingin muntah melihatnya.
Sering aku berpikir, kenapa obatnya banyak sekali sedangkan dia bilang hanya sakit batuk biasa.

Ini hari kamis. Bisanya Murni menjalankan puasa sunnah senin-kamis. Walaupun dalam keadaan kurang sehat, Murni masih berusaha untuk berpuasa. Sungguh semakin membuatku salut padamu.
Ternyata hari ini Murni kembali tidak masuk sekolah. Lagi lagi karena sakit. Entah sudah berapa kali Murni tidak masuk sekolah karena sakit. Sering sekali.

Dan kali ini lebih lama. Sudah lima hari Murni terbaring sakit. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, teman kami Ridho, yang rumahnya bertetangga dengan Murni memberitahu bahwa Murni dibawa ke Rumah Sakit semalam karena keadaannya yang semakin memburuk. Sayanagnya Ridho tidak tahu apa sebenarnya penyakit Murni.
" Oh, Murni...separah itukan penyakitmu".

Pagi yang berkabut. Rinai hujan masih terus turun. Pagi ini terlihat lebih mendung dari biasanya. Udara pagi ini terasa sangat dingin memilukan hatiku yang entah kenapa tersa tak nyaman. Berharap hari ini ada berita baik tentang Murni setelah tiga hari dia dirawat di Rumah sakit. Teringat saat kemarin aku dan teman-teman juga wali kelas kami menjenguk Murni di Rumah Sakit, Murni yang terbaring lemah hanya bisa tersenyum melihat kedatangan kami. Tubuh mungilnya semakin kurus. Aku tak tega melihatnya lama-lama.
Dari jendela kelas, kulihat Ridho berjalan trgesa-gesa, padahal seingatku bel tanda masuk belum berbunyi. Sempat terbesit pikiran jelek dibenakku. Aku berharap Ridho punya kabar baik mengenai Murni.

"Eh, itu si Murni...aduh itu si Murni..."
Ridho bicara tak karuan.
"Murni kenapa? Bicara yang jelas Dho!"
Tanyaku cemas.
"Iya Dho, ada apa?"
Teman-teman yang lain ikut penasaran.
"Murni udah enggak ada! Tadi subuh!"
"Inalillahi wa innailahi raaji'un"
Suasana hening...
"Murni..." desakhku...

Entah sudah berapa lama aku dan teman-teman menempuh jarak untuk sampai di rumah Murni. Yang terpikirkan olehku hanya ingin cepat sampai. Peluh besrta air mata tak terasa bercucuran membasahi wajahku.
Akhirnya kami tiba di rumah Murni yang terlihat disesaki banyak orang.
Banyak sekali yang mengasihimu, Murni.
Ini bukan mimpi, kami telah kahilangan sahabat terbaik kami. Sahabat terbaikku. Walau baru sekejap, tapi kepergianmu membuat kami menangis pilu.

"Murni sakit radang paru-paru"
Ucap ibunya sambil menahan air mata yang terus bercucuran.
"Ya Allah, radang paru-paru!"
Penyakit separah itu bahkan aku tak tahu. Kenapa kau tak pernah cerita padaku Murni!
Tangisku semakin sesak!
Ibunya berusaha berbicara sesuatu, tapi nampak kesulitan karena menahan tangisnya.
"Kata dokter, Murni terlalu banyak menghirip udara dingin"
Setelah itu tangisnya pecah.
"Murni, betapa beratnya hari-hari yang kau jalani. Bahkan semangatmu menuntut ilmu membuatmu rela mengorbankan paru-parumu". Lamunku dalam hati.
Sempat kulihat wajahmu untuk yang terakhir kalinya. "Subhanallah" penyakitmu tidak membuat senyum indahmu hilang, bahkan disaat kau telah tak bernyawa.

***
Satu hari berlalu. Kelas nampak sunyi setelah kami kehilangan salah astu sahabat yang paling bersahaja. Sahabatku, sumber inspirasiku, yang selalu membuat kedamaian dalam hatiku di saat aku sedih. Murninya hatimu membuatku merasa nyaman didekatmu. Mulai sekarang sampai akhirnya aku naik ke kelas tiga nanti, mungkin aku akan duduk sendirian. Akan sepi sekali sepertinya.
Bau obat masih tercium jelas olehku. Obat Murni. Ternyata bau obat itu berasal dari kolong meja Murni. Aku menemukan beberapa butir obat yang pernah kulihat dulu. Murni tidak meminumnya. Mungkinkah karena dia sudah terlalu bosan menelan obat-obat yang tak kunjung menyembuhkan penyakitnya. Selain obat-obat itu, aku menemukan secarik kertas yang terlipat rapih berisi sebuah tulisan. Tulisan tangan Murni.

Aku ingin menghirup berupa-rupa pengalaman
lalu terjun bebas menyelami labirin lika-liku hidup
yang ujungnya tak dapat disangaka.
Aku ingin berkelana, menemukan arahku dengan membaca bintang gemintang
Aku ingin mengarungi padang dan gurun-gurun,
ingin melepuh terbakar matahari, limbung dihantam angin,
dan menciut dicengkram dingin.
Aku ingin kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan.
Aku ingin hidup! Ingin mersakan sari pati hidup!

( Sebuah kutipan dari novel Edensor karya Andrea HIrata. Penulis favorit Murni )

"Semoga kau damai disisi Allah. Amin"




***
Sebenarnya saya tidak terlalu suka menulis cerpen. Karena saya waktu kelas dua MA dulu ditugaskan mengarang cerpen oleh guru bahasa Indonesia, dengan berat hati dan usaha keras, sampai banting-banting khayalan ( hiperbola, ha) jadilah cerpen ini. Dan ini adalah cerpen pertamaku dalam dunia tulis menulis...
Mohon dimaklum kalau ada yang aneh! hehe..

Thank you so much http://www.emocutez.com